CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 08 Desember 2012

Sejarah Pemindahan Arah kiblat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa



menurut hadits Shahih Bukhari ke-40 yang berbunyi :

عَنِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ - أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ - مِنَ الأَنْصَارِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا ، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ . قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ

Dari Barra' bahwa Rasulullah SAW pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Ansar. Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah) sebagai kiblatnya. Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku' menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di Makkah." Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah. Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu. Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS. Al Baqarah : 143)

Penjelasan Hadits
Sebutan kakek atau paman adalah bahasa kiasan (majaz) untuk menunjukkan hubungan kekerabatan Rasulullah dengan kaum Ansar. Di mana ibu dari kakek Rasulullah (Abdul Muthalib) adalah Salma binti Amru yang berasal dari Bani Adi bin Najjar, Yatsrib, yang kini menjadi kaum Ansar. Saat pertama-tama di Madinah, Rasulullah tinggal di Bani Malik bin Najjar.

وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ
Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah) sebagai kiblatnya.

Ketika di Makkah pun sebenarnya kiblat menghadap ke Baitul Maqdis. Hanya saja di sana bisa 'disiasati' dengan mengambil tempat shalat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau shalat sekaligus menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.

Setelah hijrah ke Madinah, hal itu tidak mungkin dilakukan. Maka selama 16 atau 17 bulan beliau menghadap ke Baitul Maqdis, meski Rasulullah lebih suka menghadap Ka'bah. Tapi inilah ibadah, dan inilah contoh ketundukan Rasulullah kepada perintah Allah. Ibadah harus sesuai dengan perintah Allah, dan ibadah tak bisa dikalahkan oleh perasaan.

Munculnya angka 16 bulan atau 17 bulan ini adalah keraguan riwayat Zuhair dalam Shahih Bukhari ini. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dasar perhitungan. Dihitung 16 bulan jika dimulai dari bulan kedatangan Rasulullah hingga perpindahan kiblat. Sedangkan 17 bulan jika memasukkan seluruh bulan dalam rentang itu, sebab keduanya terjadi pada pertengahan bulan. Rasulullah tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awal, sedangkan perpindahan kiblat ini terjadi pada pertengahan Rajab tahun kedua hijrah.

وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ
Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku' menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di Makkah." Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah.

Inilah sejarah perpindahan kiblat. Ia dimulai pada shalat Asar di hari itu, pertengahan Rajab tahun 2 H. Itulah untuk pertama kalinya di Masjid Nabawi, shalat berjamaah menghadap Ka'bah. Dan seperti turunnya perintah lain melalui wahyu, para sahabat segera menyebarkannya agar bisa diketahui dan dilaksanakan kaum muslimin dengan segera.

Seseorang yang disebutkan dalam hadits ini, yang segera mengumumkan kepada jama'ah shalat di tempat lain adalah Abbad bin Bisyr. Jama'ah shalat Asar yang ditemui Abbad dalam hadits ini adalah Bani Salamah. Dan subhaanallah, mereka pun langsung mengubah arah kiblatnya, meskipun saat itu dalam kondisi ruku'. Masjid inilah yang kini disebut dengan Masjid Qiblatain (Masjid dengan dua kiblat), karena saat itu para sahabat shalat Asar menghadap baitul maqdis kemudian mengubah arah kiblatnya menghadap ke Ka'bah.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa sahabat Nabi itu memiliki sifat adil, sehingga hadits yang dibawanya harus dipercayai, apalagi ketika ia menguatkan ucapannya dengan sumpah. Ini yang membedakan ahlus sunnah dengan syi'ah. Ahlus sunnah meyakini semua sahabat itu adil (haditsnya bisa diterima).

Hadits ini sekaligus menunjukkan karakter sahabat yang bersegera dalam beramal. Mereka memiliki ruhul istijabah yang luar biasa. Menyambut Al-Qur'an sebagaimana prajurit menyambut instruksi komandan; dinantikan, begitu datang perintah langsung dilaksanakan. Sahabat bukan generasi yang banyak bicara. Sahabat bukan generasi yang banyak berwacana. Mereka adalah generasi beramal (qaumun 'amaliyun). Dalam terminologi Sayyid Qutb, mereka adalah generasi Qur'ani yang unik (jailul Qur'anil farid).

َكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ
Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu.

Inilah kondisi ahlul kitab, terutama Yahudi. Mulanya mereka membanggakan diri karena kaum Muslimin satu kiblat dengan mereka. Mereka merasa bangga, merasa besar, merasa dicontoh. Namun begitu Allah mengubah kiblat kaum Muslimin, perasaan itu dengan serta merta berganti dongkol dan benci. Perasaan itu pun meluap ke lisan berbentuk celaan dan caci maki.

قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS. Al Baqarah : 143)
Di sinilah kandungan bab Iman dalam hadits ini. Para sahabat bertanya-tanya tentang shalat mereka yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Bagaimana hukumnya? Yang mereka maksud terutama adalah sepuluh Muslim yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Yakni Abdullah bin Syihab, Muthalib bin Azhar, Sakran bin Amru yang ketiganya dari kalangan Quraisy. Yang meninggal di Habasyah adalah Huthab bin Harits, Amru bin Umayyah, Abdullah bin Harits, Urwah bin Abdul Izzi, dan Adi bin Nadhlah. Sedangkan dari kalangan Ansar adalah Barra' bin Ma'rur dan As'ad bin Zurarah.

Menjawab pertanyaan itu, Allah SWT menurunkan firmanNya dalam QS. Al Baqarah ayat 143: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ (Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu). Di sini Allah menggunakan kata "iman" untuk menjawab pertanyaan "shalat." Ini menjadi dalil bahwa amal (termasuk shalat) adalah bagian dari iman. Ini berbeda dengan pandangan kelompok Murji'ah yang mengingkari bahwa amal dalam agama adalah iman.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah memiliki hubungan kekerabatan dengan kaum Ansar, yakni dari ibu kakek beliau;
2. Selama di Madinah, Rasulullah menghadap kiblat Baitul Maqdis selama 16-17 bulan lamanya, sebelum Allah memindahkan kiblat ke Baitullah Makkah;
3. Hadits ini menunjukkan keutamaan Rasulullah, di mana Allah kemudian memindahkan kiblat ke arah Ka'bah, sejalan dengan keinginan Rasulullah;
4. Para sahabat adalah generasi yang bersegera dalam beramal dan seperti itulah seharusnya kaum muslimin;
5. Para sahabat adalah orang yang adil, haditsnya diterima walaupun ia seorang diri (ahad);
6. Hadits ini menunjukkan bahwa amal adalah termasuk iman, ini sekaligus menjadi bantahan bagi kelompok murji'ah yang berpandangan sebaliknya;
7. Kaum Yahudi memiliki kebencian terhadap Islam, terutama ketika umat Islam teguh memegang agamanya.



Makna Perpindahan Kiblat
Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan perintah shalat dan menghadap ke Masjid al-Aqsha (Palestina), hal itu dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan.
Ketika itu, kondisi Masjid al-Haram (Kabah) yang merupakan tempat keberangkatan Isra' dan Mi’raj, belum berupa bangunan masjid. Sebab, kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam. Sehingga, di bawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum bisa menunai kan ibadah shalat di tempat tersebut.
Selain itu, jika Rasulullah SAW saat itu melaksanakan shalat dengan menghadap ke Masjid al-Haram tentu akan menjadi kebanggaan bagi kaum kafir quraisy, bahwa Rasulullah SAW seolah mengakui berhala-berhala mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis (al-Aqsha).
Dalam surah Al Baqarah ayat 142, Allah SWT menjelaskan mengapa perpindahan kiblat itu dilakukan.
Orang-orang sufaha diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".

Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan mengenai tafsir ayat ini :

Yang dimaksud dengan sufaha ialah kaum musrik Arab, para pendeta Yahudi, dan seluruh kaum munafiq, sebab ayat itu bersifat umum. Dahulu Rasulullah saw. Disuruh menghadap ke Baitul Maqdis. Di Mekkah, beliau shalat di antara rukun Yamani dan rukun Syami sehingga Ka`bah berada dihadapannya, namun beliau menghadap ke Baitul Maqdis. Setelah beliau hijrah ke Madinah, semuanya keberatan untuk menyatukan keduanya. Maka Allah menyuruhnya menghadap ke Baitul Maqdis. Pandangan itu dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama. Kemudian mereka berselisih, apakah perintah itu melalui Al-Qur`an atau melalui yang lainnya? Para ulama terbagi atas dua pandangan. Ikrimah, Abu al-Aliyah, dan Hasan Bashri berpendapat bahwa menghadap Baitul Maqdis adalah hasil ijtihad Nabi saw.

Maksudnya ialah bahwa menghadap ke Baitul Maqdis dilakukan setelah Nabi saw. Tiba di Madinah. Hal itu berlangsung selama 10 bulan. Beliau banyak berdoa dan memohon kepada Allah agar disuruh menghadap ke Ka`bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Maka Allah memenuhi doanya dan diperintahkan menghadap ke Ka`bah. Maka Nabi saw. Memberitahukan hal itu kepada Khalayak. Shalat pertama yang menghadap Ka`bah adalah shalat ashar, sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain, dari hadits al-Barra` r.a. (137), "Sesungguhnya Rasulullah saw shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan. Beliau merasa heran kalau kiblatnya adalah Baitul Maqdis, sebelum Ka`bah. Shalat pertama menghadap Ka`bah adalah shalat ashar. Beliau shalat bersama orang-orang. Lalu, salah seorang jamaah keluar dari masjid dan menuju para penghuni masjid lainnya yang ternyata sedang ruku`. Dia berkata, Aku bersaksi dengan nama Allah, Aku benar-benar telah mendirikan shalat bersama Nabi saw sambil menghadap ke Mekkah. Maka orang-orang pun berputar menghadap ke Baitullah". Menurut Nasa`I shalat itu ialah shalat zuhur di masjid Bani Salamah. Dalam hadits Nuwailah binti Muslim dikatakan (138), "Bahwa sampai kepada mereka berita mengenai peralihan kiblat ketika mereka tengah shalat zuhur. Nuwailah berkata, "Maka jama`ah laki-laki bertukar tempat dengan jama`ah perempuan (untuk menyesuaikan posisi)."

Namun berita itu baru sampai kepada penduduk Kuba pada saat shalat fajar. Maka datanglah seorang utusan kepada mereka. Dia berkata (139), "Sesungguhnya pada malam ini telah diturunkan Al-Qur`an kepada Rasulullah saw. Allah menyuruh untuk menghadap Ka`bah, maka menghadaplah kamu kesana. Pada saat itu, wajah mereka menghadap ke Syiria. Maka mereka pun berputar menghadap Ka`bah. Hadits ini mengandung dalil bahwa keterangan yang menasakh tidak dapat ditetapkan hukumnya kecuali setelah diketahui, meskipun telah lama turun dan disampaikan. Karena mereka tidak disuruh mengulangi shalat ashar, maghrib dan isya. Wallahu a`lam.

Tatkala ini terjadi, timbullah pada sebagian kaum musyrik, munafiqin, dan ahli kitab keraguan, penyimpangan dari petunjuk, membungkam dan meragukan kejadian.

Mereka berkata, "Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblatnya yang dahulu dipegangnya?" Yakni, apa yang telah membuat mereka kadang-kadang berkiblat ke Baitul Maqdis dan kadang-kadang berkiblat ke Ka`bah?

Maka Allah menurunkan ayat
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah Wajah Allah." (QS. Al Baqarah (2) : 115)

Yakni kepunyaan Allahlah segala persoalan itu, "Maka kemanapun kamu menghadap, maka disanalah wajah Allah" dan "Kebaktian itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ketimur atau kebarat, namun kebaktian itu dengan berimannya seseorang kepada Allah."

Yakni kemanapun Allah mengarahkan kita, maka kesanalah kita menghadap. Karena kesempurnaan ketaatan itu adalah dengan menjalankan berbagai perintah-Nya walaupun setiap hari Allah mengarahkan kita ke berbagai arah. Karena kita adalah hamba-Nya dan berada di bawah pengaturan-Nya. Di antara perhatian-Nya yang besar terhadap umat Muhammad ialah Dia menunjukkan mereka ke kiblat al-Khalil Ibrahim a.s. Oleh karena itu, Dia berfirman, "Katakanlah, Kepunyaan Allahlan timur dan barat, Dia menunjukkan orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (Disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir)

Dapat ditarik hikmah:
  1. Perpindahan kiblat tersebut adalah dalam ibadat shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka’bah itu menjadi tujuan, tetapi wujud berserah diri kepada Allah bukan untuk menyembah ka'bah seperti yang difitnahkan para pecundang pembenci Islam. Mereka menuduh muslim menyembah ka'bah dan Allah hanya ada di sana.
  2. Ka’bah merupakan pemersatu umat Islam dalam menentukan arah kiblat. Sama seperti al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan debu. Ini adalah menunjukkan sangat pentingnya persatuan umat Islam.
  3. Menghadap kiblat adalah wujud ketaatan seorang hamba kepada Allah karena memang diperintahkan demikian. Kemanapun arah diperintahkan, maka wajib melaksanakannya sehingga menjadi salah satu syarat syahnya sholat.


2 komentar:

  1. to all netizen ..dari hadisdi atas sebenarnya muhammad beragama Yahudi ....trus dia membuat mazhab dari yudaisme yang berbeda dengan Yahudi untuk alasan memerang yahudi..!!!

    BalasHapus
  2. to all netizen ..dari hadisdi atas sebenarnya muhammad beragama Yahudi ....trus dia membuat mazhab dari yudaisme yang berbeda dengan Yahudi untuk alasan memerang yahudi..!!!

    BalasHapus